[10] Mewujudkan Sabar dan Syukur
Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullah berkata, “Tidaklah hamba mendapatkan karunia yang lebih utama daripada kesabaran. Karena dengan sebab kesabaran itulah mereka masuk ke dalam surga.” (lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliyaa’, hal. 459)
Mutharrif bin Abdullah rahimahullah berkata, “Sesungguhnya diantara hamba-hamba Allah maka hamba yang paling dicintai adalah orang yang sabar dan pandai bersyukur. Yaitu orang yang apabila diberikan ujian maka dia bersabar, dan apabila diberi karunia maka dia pun bersyukur.” (lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliyaa’, hal. 462)
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan bahwa syukur itu dibangun di atas tiga rukun; mengakui nikmat tersebut dari Allah secara batin, mengutarakannya secara lahir -yaitu dengan memuji Allah-, dan menggunakannya demi menggapai keridhaan Allah Dzat yang telah menganugerahkan nikmat tersebut kepadanya (lihat al-Wabil ash-Shayyib, hal. 3)
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Sesungguhnya sabar dan syukur menjadi sebab seorang hamba untuk bisa memetik pelajaran dari ayat-ayat yang disampaikan. Hal itu dikarenakan sabar dan syukur merupakan pondasi keimanan. Separuh iman itu adalah sabar, separuhnya lagi adalah syukur. Kekuatan iman seorang hamba sangat bergantung pada sabar dan syukur yang tertanam di dalam dirinya. Sementara, ayat-ayat Allah hanya akan bermanfaat bagi orang-orang yang beriman kepada Allah dan meyakini ayat-ayat-Nya. Imannya itu pun tidak akan sempurna tanpa sabar dan syukur. Pokok syukur itu adalah tauhid. Adapun pokok kesabaran adalah meninggalkan bujukan hawa nafsu. Apabila seseorang mempersekutukan Allah dan lebih memperturutkan hawa nafsunya, itu artinya dia belum menjadi hamba yang penyabar dan pandai bersyukur. Oleh sebab itulah ayat-ayat yang ada menjadi tidak bermanfaat baginya dan tidak akan menumbuhkan keimanan pada dirinya sama sekali.” (lihat adh-Dhau’ al-Munir ‘ala at-Tafsir [1/145])
as-Sari as-Saqathi rahimahullah berkata, “Tidaklah seorang mencapai kesempurnaan sampai dia lebih mengutamakan agamanya di atas syahwat/keinginan nafsunya. Dan tidaklah seorang itu akan binasa kecuali apabila dia telah lebih mengutamakan syahwatnya daripada agamanya.” (lihat Ta’thir al-Anfas, hal. 472)
Mutharrif bin Abdullah rahimahullah berkata, “Sungguh apabila aku mendapatkan kesehatan dan kelapangan kemudian aku menunaikan syukur itu jauh lebih aku sukai daripada aku tertimpa cobaan/musibah sehingga aku harus bersabar menghadapinya.” (lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyah al-Auliya’, hal. 441)
Abu Abdillah ar-Razi rahimahullah berkata: Sufyan bin ‘Uyainah berkata kepadaku, “Wahai Abu Abdillah, sesungguhnya diantara bentuk syukur atas nikmat-nikmat Allah adalah dengan engkau memuji-Nya atas hal itu dan engkau gunakan nikmat-nikmat itu di atas ketaatan kepada-Nya. Oleh sebab itu bukanlah orang yang bersyukur kepada Allah orang yang menggunakan nikmat-nikmat dari-Nya justru untuk melakukan maksiat/kedurhakaan kepada-Nya.” (lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyah al-Auliya’, hal. 441)
Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullah berkata, “Orang yang bersyukur itu adalah orang yang mengetahui/menyadari bahwa nikmat itu berasal dari Allah ta’ala. Allah memberikan nikmat itu kepadanya untuk melihat; Bagaimana dia bersyukur? Bagaimana dirinya bersabar?” (lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyah al-Auliya’, hal. 441)
Abu Hazim Salamah bin Dinar rahimahullah berkata, “Setiap kenikmatan yang tidak semakin menambah kedekatan kepada Allah ‘azza wa jalla maka pada hakikatnya hal itu adalah bencana.” (lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyah al-Auliya’, hal. 888)
Yazid bin Maisarah rahimahullah berkata, “Tidaklah berbahaya suatu nikmat jika ia dibarengi dengan syukur. Tidaklah berbahaya musibah jika ia dibarengi dengan sabar. Sungguh, musibah yang menimpa pada saat melakukan ketaatan kepada Allah itu jauh lebih baik daripada nikmat yang dirasakan ketika berbuat maksiat kepada Allah.” (lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyah al-Auliya’, hal. 164)
Bisyr bin al-Harits rahimahullah berkata, “Tidaklah aku mengetahui seorang pun kecuali dia pasti tertimpa cobaan. Seorang yang Allah berikan kelapangan pada rizkinya; maka Allah ingin melihat bagaimana dia menunaikan syukur atas hal itu. Dan seorang yang Allah ‘azza wa jalla cabut sebagian dari rizkinya; ketika itu Allah ingin melihat bagaimanakah dia bisa bersabar.” (lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyah al-Auliya’, hal. 172)
al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Hakikat syukur adalah mengakui limpahan nikmat -dari Allah- dan berusaha menunaikan pengabdian [kepada-Nya]. Barangsiapa yang perkara ini semakin banyak muncul dari dirinya maka dia disebut sebagai syakuur/orang yang pandai bersyukur. Dari sanalah, maka Allah subhanahu wa ta’ala menyatakan (yang artinya), “Betapa sedikit diantara hamba-hamba-Ku yang pandai bersyukur.” (lihat Fath al-Bari, tahqiq Syaibatul Hamdi Juz 3 hal. 20)
Sa’id bin Jubair rahimahullah berkata, “Termasuk perbuatan menyia-nyiakan harta adalah ketika Allah memberikan kepadamu rizki yang halal kemudian kamu membelanjakannya untuk bermaksiat kepada Allah.” (lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliyaa’, hal. 691)